HUT TNI ke-80 tahun 2025 mengusung tema “TNI Prima – TNI Rakyat – Indonesia Maju” yang merefleksikan komitmen TNI untuk terus berkembang, menjaga kedekatan dengan rakyat dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. TNI sejatinya tidak hanya kekuatan pertahanan, tetapi juga kekuatan moral, penjaga kedaulatan sekaligus menyatu dengan denyut kehidupan rakyat.
Terinspirasi dari paparan Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Kosasih, S.E., kepada peserta PPNK 221 Lemhannas di Hotel Papandayan Bandung, tampak jelas bahwa komunikasi kebangsaan dapat diimplementasikan secara nyata. Lebih dari sekadar wacana, ia hadir sebagai bagian dari solusi untuk merawat harmoni negeri, di tengah tantangan zaman.
Dari sisi akademik, beliau telah memberi contoh model komunikasi kebangsaan yang patut diteladani, komunikasi yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga mengedukasi, menginspirasi, serta menanamkan nilai luhur sebagai ibadah kebangsaan demi menjaga persatuan, martabat dan kemajuan bangsa.
Dari sisi epistemologis, komunikasi kebangsaan berakar pada nilai spiritual, kearifan lokal diantaranya “silih asah, silih asih, silih asuh”, serta 14 nilai kebangsaan yang diajarkan Lemhannas. Ia hadir bukan sekadar wacana, melainkan suluh persatuan dan harmoni merawat negeri di tengah riuhnya ujaran kebencian dan polarisasi.

Komunikasi kebangsaan yang diimplementasikan secara nyata dan kaffah akan meneguhkan jati diri TNI sebagai pelindung rakyat sekaligus perekat harmoni negeri. Bersama seluruh elemen bangsa, komunikasi kebangsaan menjadi energi pemersatu untuk melangkah menuju cita-cita besar Indonesia Emas 2045.
Dari sisi historis kekuatan TNI tidak lahir dari senjata semata, tetapi dari kedekatannya dengan rakyat. TNI adalah rakyat yang dipanggil untuk menjaga kedaulatan, sekaligus pelindung yang hadir di tengah masyarakat dalam suka maupun duka bersama rakyat.
Panglima Kodam III/Siliwangi, Mayor Jenderal TNI Kosasih, S.E telah memberi contoh menyalakan komunikasi yang menyejukkan di tengah riuh ujaran kebencian dan narasi provokatif. Ketika prajurit menyapa rakyat dengan ketulusan, komunikasi kebangsaan hadir sebagai suluh persatuan, pengikat harmoni, dan penguat keyakinan bahwa Indonesia akan terus maju bersama rakyat dan TNI sebagai penjaganya.
Di tengah dinamika tugas militer yang menuntut ketegasan dan pengambilan keputusan cepat, sosok Panglima Kodam III/Siliwangi, hadir dengan sisi lain yang meneduhkan. Dikenal dengan julukan “Jenderal Santri”, dan pernah bertugas sebagai Kabintaldam XVI / Pattimura, telah menunjukan perpaduan karakter unik antara ketegasan seorang prajurit dan kedalaman spiritual seorang santri.
Bagi Mayjen Kosasih, Al-Qur’an bukan hanya kitab suci untuk dibaca, melainkan syifa—sumber penyembuh bagi jiwa. Prinsip ini ia yakini sebagai penunjuk arah dalam setiap langkah, penawar kegelisahan batin, sekaligus sumber ketenangan di tengah tekanan tugas berat seorang prajurit.

Keyakinan spiritual Mayjen TNI Kosasih, berpijak pada kalimat penuh makna: “minal qur’āni mā huwa syifā’ wa raḥmatun lil-mu’minīn”—Al-Qur’an adalah penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman. Baginya, kitab suci bukan sekadar bacaan, melainkan sumber energi moral dan ketenangan jiwa yang menuntun langkah dalam memimpin.
Dari keyakinan inilah lahir gaya kepemimpinan yang memadukan ketegasan prajurit dengan kelembutan santri: seorang pemimpin yang tak hanya dihormati karena pangkat, tetapi juga disegani karena kebijaksanaan. Ia menegaskan bahwa kekuatan sejati TNI bukan hanya ada pada kekuatan dan ketegasan semata, melainkan pada kedekatan dengan nilai-nilai ilahiah
Komunikasi kebangsaan yang berpijak pada dimensi ilahiah akan memancarkan energi dari hati yang jernih, menghadirkan kesejukan di kala panas, ketenangan di tengah kegelisahan, sekaligus menjadi penunjuk arah saat kebingungan melanda. Dengan landasan ini, komunikasi tidak hanya menjadi sarana bertukar pesan, melainkan jalan menuju kehidupan bersama yang penuh berkah, harmoni, demi kejayaan bangsa
Pemimpin sejati bukan hanya dihormati karena pangkat atau kewenangan, melainkan dicintai karena kearifan yang ditunjukkannya. Di tengah rakyat yang masih banyak diliputi ketakutan, kebingungan, bahkan putus asa akan masa depan, pemimpin sejati tampil sebagai suluh yang menyalakan harapan dan menuntun langkah menuju jalan keselamatan dan kemuliaan bangsa.
Dengan spirit Qur’ani, komunikasi kebangsaan hadir sebagai cahaya yang meneguhkan persatuan, menumbuhkan semangat kebersamaan, serta menjadi oase di tengah derasnya arus narasi provokatif, budaya flexing, dan ujaran kebencian yang meracuni ruang public kita saat ini.
Seperti diajarkan Rasulullah SAW: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim). pesan ilahiah ini bukan hanya etika individu, melainkan fondasi komunikasi bangsa. Kata-kata harus menjadi doa kebangsaan, bukan bara permusuhan, menjadi penyejuk, bukan pemecah.
Model komunikasi kebangsaan Mayjen Kosasih SE, selaku Pangdam III/Siliwangi, memberi pesan bahwa kekuatan militer bukan sekadar barisan prajurit, melainkan garda moral yang menjaga negeri dengan kebijaksanaan. Komunikasi kebangsaan pun menemukan bentuknya: sebagai ibadah, sebagai pengikat, dan sebagai jalan menegakkan martabat Indonesia.
Komunikasi kebangsaan dalam perspektif Islam adalah komunikasi yang berlandaskan akhlak mulia, dengan merujuk pada nilai ṣidq (jujur), amānah (dapat dipercaya), tablīgh (menyampaikan dengan jelas), dan faṭonah (cerdas, bijaksana). Keempat nilai ini menjadi fondasi utama agar komunikasi kebangsaan dapat meneguhkan persatuan, menghadirkan keadaban, serta kemaslahatan bersama.
Setiap warga bangsa dituntut menjaga lisan dari fitnah, ujaran kebencian, dan provokasi yang memecah belah. Sejalan dengan nilai islam “al-kalām thawābun aw ʿiqābun” — setiap kata yang terucap bisa bernilai pahala atau justru berbuah dosa. Prinsip inilah yang menjadikan komunikasi kebangsaan dapat menghadirkan keberkahan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, melalui untaian kata yang penuh hikmah.
Model komunikasi Pangdam III/Siliwangi dapat menjadi teladan dalam menyampaikan pesan dengan keteladanan, sehingga mampu membangun partisipasi rakyat sekaligus menjaga keseimbangan antara nilai budaya lokal dan kepentingan nasional. Dengan pendekatan ini, komunikasi tidak hanya menyatukan, tetapi juga meneguhkan jati diri bangsa dalam bingkai persatuan.

Sejarah bangsa pun telah memberi contoh nyata. Bung Karno memaknai komunikasi sebagai “alat perjuangan” yang menggerakkan rakyat, sementara KH. Ahmad Dahlan maupun KH. Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya dakwah bil-hikmah dan bilhal untuk merawat harmoni dan kemajuan negeri.
Kita juga diingatkan pada pesan luhur para tokoh bangsa, dari KH. Hasan Mustofa hingga H.O.S. Tjokroaminoto, bahwa komunikasi adalah jalan pembebasan dan penyatuan. Kata-kata yang terucap bukan sekadar suara, melainkan suluh yang membangkitkan kesadaran, memperkuat persaudaraan, dan meneguhkan persatuan.
Komunikasi kebangsaan harus hadir sebagai penyejuk di tengah riuhnya perbedaan. Ia bukan sekadar aliran informasi, melainkan suluh yang menyalakan semangat persaudaraan, merawat harmoni, serta menumbuhkan optimisme kolektif bangsa.
Bangsa berharap kepada seluruh jajaran TNI, tentu seluruh komponen strategis bangsa sebagaimana dicontohkan Pangdam III/Siliwangi, mampu menyalakan teladan komunikasi kebangsaan dengan kesadaran dan keikhlasan sebagai bagian ibadah kebangsaan—jalan luhur untuk menjaga persatuan, meneguhkan martabat Indonesia di era turbulensi zaman
Dirgahayu TNI ke-80. Tetap jaya sebagai pelindung rakyat, perekat persatuan, dan penjaga martabat bangsa menuju Indonesia Emas 2045. Semoga !
Penulis : Dr. Eki Baihaki, M.Si Dosen Magister Komunikasi Pascasarjana UNPAS, Wakil Ketua Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD, Pembina DPC Perhumas Bandung, Pembina MCJJ, Pengurus ISKI Jabar, Aspikom Jabar dan pengurus Forum Pembauran Kebangsaan Jawa Barat.
Discussion about this post