Indonesia sejak lama menegaskan prinsip bahwa penindasan dan penjajahan tidak punya tempat di dunia yang beradab. Prinsip itu bukan sekadar kata-kata; ia menjadi dasar kemauan politik dan langkah nyata dalam diplomasi kemanusiaan.
Pidato tegas Presiden Prabowo Subianto dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (23/9/2025) menegaskan dukungan bagi kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, serta kesiapan mengakui negara Israel jika solusi dua negara disepakati.
Presiden Prabowo di forum dunia menyerukan keberanian untuk berkata tegas: Palestina berhak merdeka, dan hak itu tidak bisa ditunda lagi. Indonesia siap di garis depan perjuangan ini, demi dunia yang lebih adil, damai, dan manusiawi.
Sebab, membela Palestina sesungguhnya adalah membela kemanusiaan itu sendiri.
Hingga September 2025, tercatat 153 negara anggota PBB telah mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
Arus dukungan ini kian menguat setelah negara-negara Barat besar seperti Inggris, Kanada, Australia, dan Prancis menyusul memberikan pengakuan resmi.
Di sinilah peran strategis Presiden Prabowo menemukan relevansinya. Konsistensi politik luar negeri bebas-aktif menjadi modal untuk memperjuangkan Palestina.
Prabowo tidak sekadar menyuarakan dukungan simbolik, tetapi meneguhkan solusi dua negara sebagai jalan realistis yang membuka ruang bagi koeksistensi damai.
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menegakkan perdamaian dunia, melalui operasi perdamaian PBB—menyiapkan kontingen pasukan, unit teknik, rumah sakit, hingga penjaga zona demiliterisasi dengan mandat PBB untuk melindungi warga sipil.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan anggota aktif G20, Indonesia memiliki kredibilitas unik.
Prabowo dapat memainkan posisi sebagai honest broker, menjembatani dunia Islam dan Barat, sehingga diplomasi Indonesia diharapkan tidak hanya terdengar di forum retorika, tapi juga menentukan arah kebijakan global.
Gelombang pengakuan tersebut bukan hanya langkah diplomatik, tetapi juga tekanan moral dan politik yang semakin mengisolasi Israel di panggung internasional—menandai lahirnya equilibrium atau keseimbangan baru dalam konfigurasi kekuatan politik global.
Pada momentum inilah, Presiden Prabowo tampil dengan peran strategis untuk meneguhkan solusi dua negara sebagai jalan keluar yang beradab—bukan sekadar kompromi politik, melainkan fondasi peradaban damai menggantikan logika konflik yang tak berkesudahan.
Pengakuan sejumlah negara Eropa terhadap Palestina merupakan koreksi atas sejarah panjang ambiguitas moralitas Barat. Selama puluhan tahun, Eropa membiarkan genosida dan penindasan terjadi di Palestina dengan alasan geopolitik.
Gelombang pengakuan dari negara-negara besar mengubah peta kekuatan baru di tubuh PBB.
Sekaligus, ini menjadi ujian moral bagi umat manusia. Dunia kini dihadapkan pada pilihan historis: bertahan dalam peradaban konflik yang terus melahirkan penderitaan, atau beralih menuju peradaban damai yang menjunjung keadilan dan martabat.
Dunia kian sulit menutup mata atas praktik genosida yang dilakukan Israel. Isolasi politik dan moral makin kuat, bahkan di kalangan sekutu tradisionalnya. Label rogue state—label negara jahat yang dulu dinisbatkan Barat kepada Irak, Iran, dan Korea Utara—bisa menjadi kutukan balik ke Israel jika tidak segera sadar diri.
Dalam perspektif equilibrium baru, keterlibatan komunitas global bukan lagi soal berpihak pada blok tertentu, tetapi menata ulang pranata nilai dunia yang lebih adil, di mana kemerdekaan Palestina adalah harapan besar hampir seluruh umat manusia.
Jalan Damai Ratu Saba
Dalam khazanah Islam, kisah Ratu Saba (Bilqis) menjadi simbol jalan damai yang penuh kearifan. Ketika dihadapkan pada kekuatan besar Nabi Sulaiman, Bilqis tidak memilih jalur konfrontasi.
Ia datang dengan diplomasi, kebijaksanaan, dan penghormatan. Jalan damai yang ditempuhnya bukan kelemahan, melainkan kebesaran jiwa menempatkan maslahat rakyat di atas ego kekuasaan.
Kisah ini memberi pelajaran penting bagi dunia modern. Palestina–Israel bukan hanya konflik politik, tetapi juga krisis kemanusiaan yang membutuhkan keberanian moral untuk menempuh jalan damai. Solusi dua negara dapat dipandang sebagai “jalan Bilqis” di era kini, menutup siklus permusuhan dan membuka babak koeksistensi.
Presiden Prabowo, dengan konsistensi pada diplomasi perdamaian, dapat menghidupkan kembali spirit Ratu Saba: menawarkan kearifan sebagai pengganti kekerasan, memilih diplomasi ketimbang penindasan, dan meneguhkan equilibrium baru global yang menjadikan perdamaian sebagai dasar peradaban.
Sebagaimana Ratu Bilqis memilih damai demi rakyatnya, demikian pula para pemimpin dunia kini dituntut memilih solusi dua negara demi masa depan kemanusiaan.
Prabowo mendorong pengakuan internasional terhadap Palestina tanpa menutup ruang dialog dengan Israel. Jalan tengah inilah yang dapat memulihkan martabat kemanusiaan sekaligus mencegah dunia terjebak dalam spiral konflik berkepanjangan.
Lebih jauh, dukungan Prabowo pada solusi dua negara juga dapat dibaca sebagai investasi politik luar negeri jangka panjang. Dunia membutuhkan paradigm shift: dari peradaban konflik menuju peradaban damai. Sejarah telah menunjukkan, konflik hanya melahirkan dendam dan kehancuran, sementara koeksistensi melahirkan stabilitas dan kemakmuran bersama.
Sejarah kelak akan mencatat, apakah dunia memilih peradaban damai atau tetap bertahan dalam peradaban konflik. Di titik kritis ini, suara Indonesia melalui Presiden Prabowo diharapkan dapat menjadi trendsetter penentu arah menuju peradaban yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan. Semoga!
Dr. Eki Baihaki, M.Si.
Dosen Pascasarjana UNPAS
Sumber: https://www.inilah.com/prabowo-pbb-dan-jalan-tegak-bagi-palestina-merdeka
Discussion about this post