“nyalakan kata-katamu, bukan suaramu.
Hujanlah yang menumbuhkan bunga, bukan Guntur “
– Jalaludin Rumi –
Dalam khazanah kearifan Sunda, nama Siliwangi berasal dari istilah yang berarti pengganti atau penerus RajaWangi. Simbol kepemimpinan yang harum menebar kharisma, keadilan, dan kebijaksanaan. Esensi komunikasi kebangsaan,sejatinya bukan hanya soal kata, juga tentang komunikasi yang mampu menenun harmoni negri.
Falsafah luhur sunda silih wawangi, silih asah, silih asih, silih asuh, sebagian dari filosofi Sunda, yang bukan sekadar etika sosial, sejatinya adalah panduan komunikasi kebangsaan, yaitu tentang cara bagaimana manusia bersilaturahmi dengan sesamanya, melalui bahasa yang menebar harum, bukan menyebar racun konflik sesama anak bangsa.
Kini, di tengah arus turbulensi dunia komunikasi digital yang mewarnai dan mendominasi nilai kehidupan, maka kearifan lokal Sunda menemukan relevansinya kembali. Untuk menjadi cermin dan cahaya dari ruang komunikasi kebangsaan kita: siapa yang mengasah dan mengasihi, tapi juga siapa yang menghardik dan menghujat ?
Silih Wangi mengajarkan kita menyalakan kehormatan bersama, bahwa setiap kata dan perbuatan dapat menjadi bunga harum yang menebar kebaikan. Narasi komunikasi kebangsaan adalah pesan menyebarkan cahaya, merawat persaudaraan, dan menumbuhkan martabat bangsa, sehingga setiap pesan menjadi benih yang menyatukan.
Komunikasi kebangsaan bukan sekadar suara, tetapi harum yang menempel di jiwa, jejak nilai dan kebijaksanaan yang diwariskan dari leluhur. Seperti Prabu Siliwangi yang namanya harum sepanjang masa, sejatinya narasi dan tindakan kita harus meninggalkan jejak inspirasi, untuk menumbuhkan kebanggaan akan Indonesia

Sebaliknya, ketika ujaran kebencian, fitnah, dan hoaks menjadi santapan sehari-hari, wangi kebangsaan dapat berubah menjadi bau busuk yang mencemari ruang publik. Bangsa yang kehilangan silih wangi akan terjebak dalam spiral kecurigaan, kemarahan dan konflik tanpa ujung.
Sementara silih asah menuntun kita untuk terus belajar, berpikir jernih, dan menggunakan nalar dalam berkomunikasi. Di era informasi yang begitu cepat, kemampuan asah akal dan asah rasa menjadi benteng penting melawan manipulasi dan disinformasi yang menyebar.
Hoaks mudah tumbuh bukan karena kurangnya data, tetapi karena hilangnya kesadaran kritis dan empati. Maka silih asah menuntut agar kita tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga bijak secara emosional, mampu mengasah diri untuk membedakan mana kritik yang membangun dan mana caci maki yang meruntuhkan.
Kemudian silih asih, adalah dasar kasih dalam hubungan sosial. Sejalan dengan pandangan Islam, komunikasi yang baik harus dilandasi niat yang bersih dan tujuan yang mulia: qaulan sadīda (perkataan yang benar), qaulan balīgha (perkataan yang menyentuh), dan qaulan layyina (perkataan yang lembut).
Dunia digital seharusnya menjadi ruang dakwah kemanusiaan, tempat setiap kata menebar cahaya, bukan arena pertikaian. Di dalamnya, pesan-pesan yang membangun persaudaraan dan empati mampu menumbuhkan keharmonisan dalam keberagaman, menjadikan jaringan maya ladang kebaikan yang menyuburkan martabat bangsa.
Silih Asuh berarti saling menuntun, saling menjaga, dan saling menguatkan di tengah perbedaan. Spirit ini sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang mudah terpecah oleh isu politik dan identitas. Dalam komunikasi kebangsaan, silih asuh menjadi proses ngasuh rasa, mendidik publik agar tidak terperangkap dalam polarisasi, dan menumbuhkan kesadaran kolektif akan pentingnya rasa persatuan.
Ketika kita mau ngasuh sesama dan menebar kebaikan, membangun empati, dan memperkuat martabat bangsa. Komunikasi bukan lagi arena adu argumentasi, tetapi ladang untuk menumbuhkan persaudaraan, menguatkan identitas, dan menebar “keharuman” nilai-nilai kebangsaan di setiap interaksi.
Namun nilai-nilai luhur bukan berarti menafikan sikap kritis. Justru sebaliknya, bangsa yang silih asah dan silih asuh adalah bangsa yang berani bersuara kritis, tetapi dengan cara yang konstruktif. Kritik yang lahir dari kasih sayang terhadap bangsa akan menumbuhkan solusi, bukan perpecahan.
Kritik yang berlandaskan akal sehat dan adab adalah wujud dari cinta tanah air. Dengan cara ini, setiap suara yang mengingatkan atau menasihati bukan sekadar menyampaikan pendapat, tetapi menjadi bentuk pengabdian dan kepedulian untuk kemajuan dan kemaslahatan bersama.
Rasulullah SAW menegaskan pentingnya menasihati dengan hikmah dan kelembutan, bukan amarah atau cacian. Dalam komunikasi kebangsaan, prinsip ini mengajarkan kita bahwa kritik yang bijak mampu mencerahkan, menumbuhkan kesadaran, dan memperkuat persatuan, sehingga cinta tanah air terpancar dari tutur kata dan tindakan yang membangun, bukan yang merusak.

Di era digital ini, kemampuan menimbang sebelum berbagi menjadi wujud taqwa digital. Setiap klik, unggahan, dan komentar mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Maka, komunikasi kebangsaan hari ini memerlukan revolusi moral: dari sekadar bereaksi menjadi reflektif, dari sekadar menyalahkan menjadi membangun, dari sekadar bicara menjadi mendengar.
Marilah kita jaga ruang komunikasi kebangsaan kita sebagai ladang pahala, bukan lahan fitnah; sebagai taman kebangsaan, bukan arena perpecahan. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa, menjadi masyarakat yang cageur, bageur, bener, pinter, tur singer: sehat akal, baik hati, benar dalam niat, cerdas dalam pikir, dan sigap dalam bertindak.
“Silih wawangi” berarti saling mengharumkan. Sebuah ajaran untuk menjaga nama baik, martabat, dan kehormatan satu sama lain. Dalam kehidupan nyata, ia berarti tidak menjelekkan; dalam kehidupan digital, ia berarti tidak menyebarkan keburukan dan kebencian sesama anak bangsa
Bahwa setiap unggahan, komentar, dan kata yang kita sebarkan di dunia maya, seharusnya menjadi wewangian sosial, menebar kebaikan, bukan kebusukan. Rasulullah bersabda:“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Nilai silih wangi, silih asih, asah dan asuh, dalam konteks komunikasi kebangsaan, adalah pondasi persaudaraan sejati ukhuwah insaniyah dan ukhuwah wathaniyah yang menjembatani segala perbedaan. Rasulullah berpesan, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di era di mana suara dan kata-kata kasar mudah terlontar, kutipan Rumi “Raise your words, not your voice. It is rain that grows flowers, not thunder” diatas menjadi kian relevan dan mendalam. Ungkapan ini mengajak kita merenung: apakah komunikasi kita menumbuhkan kebaikan, atau justru menimbulkan kebisingan dan perpecahan?
Rumi mengingatkan bahwa kata yang bijak, lembut, dan bermakna lebih kuat daripada suara yang keras dan kasar. Dalam konteks komunikasi kebangsaan, prinsip ini menegaskan bahwa menyampaikan pesan dengan jelas, sopan, dan penuh hikmah adalah cara menebar “hujan” yang menumbuhkan persatuan, bukan guntur yang memecah belah.
Penulis : Dr. Eki Baihaki, M.Si,
Dosen Magister Komunikasi Pascasarjana UNPAS, Alumni PPNK 21, Wisesa Utama Wanntanas dan Pengurus Forum Pembauran Kebangsaan Jawa Barat
Discussion about this post